
Bagi banyak orang tua, mengajak anak untuk khitan bisa jadi tantangan besar. Terutama ketika anak sudah cukup besar untuk berkata, “Aku nggak mau disunat!” lengkap dengan drama air mata, mogok makan, sampai ngumpet di bawah meja.
Padahal, sunat—selain sebagai kewajiban agama bagi umat Muslim—juga punya manfaat medis yang diakui secara global. Tapi semua itu bisa terasa jauh di mata anak, yang hanya melihatnya sebagai “prosedur menyakitkan dengan alat aneh dan bau obat.”
Tenang, orang tua tidak sendiri. Dengan pendekatan yang tepat, empati, dan strategi persuasif, Anda bisa mengubah momen ini menjadi pengalaman yang lebih tenang, bahkan positif.
💡 Mengapa Anak Takut Khitan?
Sebelum membujuk anak, penting memahami alasan mereka takut:
Takut sakit – Ini alasan nomor satu. Imajinasi anak sering kali melebih-lebihkan rasa sakit.
Cerita horor dari teman – Entah benar atau tidak, anak-anak suka bercerita dramatis.
Takut kehilangan kontrol – Di usia tertentu, anak mulai ingin punya kendali atas tubuhnya.
Kurangnya informasi – Anak tak tahu apa yang akan terjadi, jadi mereka membayangkan yang terburuk.
Dengan tahu akar masalahnya, kita bisa menyusun pendekatan yang lebih efektif.
🎯 Strategi Persuasif agar Anak Mau Dikhitan
1. Bicarakan dengan Bahasa Mereka
Gunakan bahasa sederhana dan positif. Hindari kata-kata seperti “dipotong”, “disayat”, atau “disuntik” yang bisa membuat mereka semakin takut.
Coba:
“Sunat itu seperti membersihkan ujung kelamin, biar lebih sehat dan bersih. Nanti juga kamu jadi lebih keren kayak Ayah dulu waktu kecil.”
2. Libatkan Mereka dalam Proses
Beri anak pilihan, misalnya:
Mau sunat di klinik A atau B?
Mau ditemani Ayah atau Ibu?
Mau pakai celana sunat warna biru atau merah?
Memberikan kontrol kecil membuat anak merasa dihargai.
3. Cerita dan Role Model
Ceritakan pengalaman sunat Ayah, Paman, atau Kakak. Bisa juga lewat buku cerita bergambar atau video edukatif anak. Anak akan lebih tenang ketika tahu bahwa “semua orang juga pernah mengalaminya dan baik-baik saja.”
4. Kunjungan ke Klinik Sebelum Hari-H
Bawa anak ke klinik untuk melihat suasananya, bertemu dokter, dan mendapat penjelasan langsung. Biasanya, tenaga kesehatan punya cara khas untuk menenangkan pasien kecil.
Menurut dr. Andika Wijaya, SpU, dari Klinik Khitan Sehat, “Sebagian besar anak yang sudah datang ke klinik dan tahu prosedurnya, jadi lebih siap secara mental. Mereka tahu bahwa itu cepat dan tidak semenakutkan bayangan mereka.”
5. Berikan Hadiah atau Reward
Tidak harus mahal. Janjikan es krim, mainan kecil, atau liburan mini setelah sunat. Ini bisa menjadi motivasi kuat. Tapi pastikan anak paham bahwa hadiahnya adalah bentuk penghargaan, bukan ‘penyuapan’.
6. Pilih Metode Sunat Modern
Saat ini, metode sunat sudah jauh lebih nyaman dan cepat. Metode klamp, laser, atau stapler membuat prosedur minim nyeri dan tanpa jahitan.
Menurut data dari American Academy of Pediatrics (AAP), prosedur sunat modern yang dilakukan oleh tenaga medis terlatih sangat minim risiko dan proses pemulihannya cepat, terutama bila dilakukan pada usia 6–12 tahun.
📊 Fakta Medis: Sunat Tidak Hanya Soal Agama
Berdasarkan laporan WHO (2023), sunat juga terbukti menurunkan risiko:
Infeksi saluran kemih
HIV dan IMS
Masalah kebersihan genital
Di Indonesia sendiri, menurut data Riskesdas 2018, lebih dari 90% anak laki-laki usia sekolah dasar telah disunat, sebagian besar atas pertimbangan agama dan kesehatan.
🧘 Tips Tambahan: Jaga Emosi Orang Tua
Terkadang, yang lebih gugup adalah orang tuanya. Anak bisa menangkap energi itu.
Tetap tenang saat menjelaskan
Jangan marah atau mengancam jika anak takut
Hindari membandingkan (“Kakak aja dulu berani, masa kamu takut?”)
🎉 Akhiri dengan Pengalaman Menyenangkan
Setelah sunat, ciptakan suasana nyaman:
Biarkan anak istirahat dengan nyaman
Dampingi saat kontrol ke dokter
Rayakan keberanian mereka
Sunat bisa jadi pengalaman berharga jika anak merasa didukung dan dihargai.
📣 Saatnya Mulai Belajar dan Persiapkan
Mengajak anak untuk sunat tidak harus menjadi momen penuh tangis dan ketegangan. Dengan pendekatan yang lembut, edukatif, dan menyenangkan, proses ini bisa jadi ajang tumbuh bersama antara orang tua dan anak.
Mulailah dengan berdialog, membaca buku bersama, atau kunjungi klinik untuk konsultasi awal. Ingat: anak bukan menolak khitan, mereka hanya belum merasa aman dan siap.
Yuk, bantu anak menyiapkan langkah penting ini dengan cara yang penuh kasih dan percaya diri. 💙
📚 Referensi:
American Academy of Pediatrics. (2012). Circumcision Policy Statement.
WHO. (2023). Male Circumcision and HIV Prevention.
Riskesdas 2018 – Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.
Wawancara dengan dr. Andika Wijaya, SpU – Klinik Khitan Sehat.